7.4.12

Hanya Tentang Kopi

Ini gelas ketiga. Kafein sepertinya telah berteman baik dengan lambungku.

Bodohnya aku dulu rela menukar empat tahunku karena hanya tergiur beberapa angka. Aku tidak mengerti apa artinya disleksia, seperti aku tidak pernah mengerti bedanya susah tidur dan insomnia. Yang jelas aku memang mempunyai kesulitan dalam menjetikkan jemari secara urut. Bodohnya aku menggantungkan 30 tahun ke depan pada jemariku. Bodohnya.

How can the devil destroy the evil?

Lucu bukan? Bukan. Kelucuan itu hanya ada di televisi, karena memang kelucuan sekarang hanya bisa ditelevisikan. Tidak percaya? Tidakkah kamu melihat badut-badut mulai menurunkan derajatnya dengan menempel papan besi di pohon-pohon kota, berbarengan dengan papan layanan sedot tinja dan pengobatan alternatif?

Ya tuhan, aku yakin kamu tidak memerlukan huruf kapital pada awal namamu. Tidak juga kamu butuh menciptakan otak manusia yang lebih hebat selain hanya bisa menemukan 26 huruf universal beserta 10 angka pendampingnya. Tapi kenapa kamu butuh menciptakan orang seperti aku? Orang yang akan terlalu banyak membutuhkan usaha untuk mengalihkan peristiwa empat dimensi ke dalam sejumlah tinta di atas olahan serat-serat biji buah?

Apa memang semuanya hanya untuk menyadarkan bahwa seseorang yang penuh kesalahan tidak akan bisa berlaku benar? Tuhan, andai saat menghubungimu ada nada sambung atau mesin penerima pesan, tentunya aku tidak usah mengalihkan peristiwa empat dimensi ke dalam sejumlah indra yang mengalirkan pesan ke akalku.

Akhirnya gelasku kosong kembali hanya untuk mengeluh sepanjang itu.

5.4.12

Jenger

Aku ingat telingaku pernah berdengung seperti ini.


Orang-orang mengejarku selayaknya aku adalah babi hutan yang akan merugikan panen dari kebun mereka kala itu. Salah seorang dari mereka melemparkan bola kecil ke sampingku saat aku mulai tak sanggup untuk sekedar berdiri dengan jempolku yang bernanah. Bunyi bola itu ketika jatuh membuatku serasa berkepala dua belas.

Aku sampai titik ini tidak pernah mengerti mengapa mereka menjadikan aku babi. Aku hanya ingat hari itu ayahku sembari menangis menggendongku dengan tangan kanannya sambil menggenggam palu di tangan kirinya. Kemudian kami bergegas ke kebun belakang menjemput ibuku yang sedang sibuk memotong rumput. Aku ingat dia berkata "Anjing Jawa itu sudah memangku bumi. Dia dibantu si mata satu. Herr great father is down." Setelah itu kita mulai berlari bersama orang-orang yang selama ini selalu berkumpul di rumahku. Kita dikejar dan diteriaki manusia di sepanjang jalur yang kita lewati. Mereka terlihat sangat senang ketika gerombolanku satu persatu berhasil mereka tusuk di bagian dada dan kepala.

Di hari itu aku dan ayahku berhenti di sebuah lorong buatan ketika hari mulai gelap. Ibuku sudah tertinggal jauh, dan sepertinya sudah menerima berbagai tusukan pula di badannya. Esok, lusa dan seterusnya ayahku selalu mengajarkanku bagaimana caranya memakan lumut, cacing dan mahkluk hidup apapun yang terdapat di dalam lorong tersebut. Sampai satu pagi, aku menemukan ayahku menatap kosong ke arahku dengan sisa remah-remah jamur yang masih menempel di mulutnya. Pagi itu juga aku memutuskan untuk keluar dari lorong gelap dengan tanpa penutup apapun di tubuhku.

Karet yang aku pakai ketika aku masuk ke dalam lorong sudah berbau seperti lorong itu sendiri. Karet ayahku sendiri ketika kulepas ternyata meninggalkan noda kotoran dari bagian depan dan belakang. Tak lama ketika aku turun dari lorong tersebut, seorang dengan kalung mutiara melemparkan seutas kain ke arahku. Aku mengerti dia tidak nyaman dengan keadaanku. Ketika aku mulai memasukkan kain tersebut dari kepala lah telingaku mulai berdengung seperti kala tersebut.

Sesaat semuanya gelap dan aku masih berusaha menurunkan kain itu agar bisa aku kenakan dengan baik. Ketika aku akhirnya berhasil dan mulai bisa membuka mata, aku melihat diriku terbaring di pematang sawah, tempat saat aku mulai mencoba mengenakan kain yang sekarang kupakai ini. Tak lama kemudian sebuah cahaya seolah masuk dan memberi tahu bahwa aku telah mendapatkan hukuman.

Hukuman pertamaku didunia. Hukuman yang orang tuaku pun tak pernah berikan. Bahkan, aku pun baru saja mengetahui apa yang mereka maksud dengan hukuman. Sejenak aku melihat pria di sebelah orang berkalung mutiara berteriak ke arahnya "Hukuman ini dilakukan atas kesalahannya! Tak perlu kamu memandangku seperti itu!" Ayah, Ibu, kesalahan apa yang sebenarnya telah aku perbuat?